Pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari
dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh
mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum
resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat
telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan
cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran
yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke
rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya
dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena
perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret
ke dalam fitnah.
Wallahul musta’an
(Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang
hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi
(riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk
diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta
keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang
seperti teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai
keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun
harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam
kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang
dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian
pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal
lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais
ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia
minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin
yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR.
Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan
calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan
tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan
Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang
dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau
tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu
terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan
menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan
hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan
adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak
dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang
membutuhkan pembahasan khusus .
Semoga Membawa Manfaat.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar